Rabu, 03 Desember 2008

Ekspektasi Masyarakat terhadap Institusi Politik dalam Pembagunan Demokrasi

Andi Harianto

Jurgen Habermas menekankankan perlu tercipta ke khasan dari institusi politik dalam membangun demokrasi. Ia mengungkapkan bahwa reproduksi masyarakat super kompleks bergantung pada sistem pengendalian tertentu, yakni atas subsistem politik. Dengan meningkatnya kemampuan memproses informasi dan kemampuannya dalam membedakan diri dengan subsistem-subsistem social lainnya dimana sistem politik memperoleh otonomi yang unik di dalam masyarakat. Politik tidak lagi terus mengira-ngira dasar keputusannya.
Politik harus menciptakan dirinya sendiri. Ia harus memenuhi legitimasinya sendiri dalam sebuah situasi yang terbuka secara defenitif dan yang secara structural tidak terbatasi oleh penghargaan terhadap kesempatan-kesempatan terwujudnya consensus dan hasil-hasil yang diinginkan. Pemisahan sistem legitimasi memungkinkan terjadinya otonomi proses-proses putusan vis-à-vis masukan dari motivasi, nilai dan kepentingan umum.20
Pembentukan nilai-nilai politik baru yang demokratis nanti menjadi relevan setelah reformasi. Kekerasan dan ketidak stabilan yang disebabkan oleh derasnya perubahan social dan tingginya mobilitas politik dan lambannya proses perkembangan lembaga-lembaga politik, harus diakhiri dengan mengembangkan nilai-nilai baru yang sesuai dengan tuntutan perubahan. Mengembangkan nilai-nilai demorasi berarti menumbuhkan sikap-sikap politik yang menghindari konflik dan menghadirkan mekanisme agar supaya konflik dapat dikendalikan sehingga tidak merugikan masyarakat. Diantara hukum yang menguasai manusia menurut Tocqueville, apabila manusia harus tetap beradap atau menjadi beradab, seni untuk mempersatukan diri harus senantiasa tumbuh dan mengikat rasio sebagai bahagian dari budaya politik yang harus selalu dikembangkan.
Adapun khusus untuk pemerintah sebagai fasilitator dan supporting pembangunan demokrasi harus melakukan peran untuk penguatan legitmasi yang ditentukan oleh kemampuan akseptabilitas pemerintah. Akseptabilitas suatu pemerintahan akan menentukan derajat legetimasi pemerintahan. Untuk bisa secara politik akseptabel, haruslah pemerintah lebih akomodatif terhadap berbagai kelompok-kelompok politik.

Baca, Jurgen Habermas, Krisis Legitimasi, ,Penerbit Qalam, Cetakan Pertama, yokyakarta, Juli 2004, hal 348- 349

Dalam praktek pemerintahan, jaminan terhadap kesamaan hak, jaminan kebebasan untuk berkumpul, mengeluarkan pendapat adalah suatu kebutuhan. Selain itu representasi rakyat dapat memainkan peran sebagi forum untuk wacana publik yang terbuka, bebas, sehat dengan otoritas yang cukup dalam penetapan kebijakan publik. Meskipun hasil pemilu sekarang ini telah mencoba membentuk citra baru, akan tetapi rakyat masih cenderung lebih percaya pada efektifitas lembaga-lembaga yang bersifat ad hoc, seperti KPK, Komnas Ham, Kontras, LBH, dan sebagainya dari pada DPR atau DPRD dalam menangani isyu-isyu sensitive. Fenomena ini menunjukkan bahwa institusi politik formal belum mampu menggeser wacana publik atas masalah-masalah sensitive dan strategis dari luar ke dalam forum institusi politik.
Membangun demokrasi mensyaratkan terbentuknya kepercayaan rakyat yang memadai terhadap pemerintah. Dalam konteks kini, harus ada kesadaran bagi pemerintah yang berkuasa saat ini, maupun yang akan berkuasa nanti setelah pemilu 2009, bahwa pemberdayaan lembaga perwakilan adalah suatu keperluan yang mendesak manakala demokrasi hendak dibangun. Hak-hak legislatif perlu dioptimalkan, hambatan-hambatan prosedural dan hambatan psikologis untuk berlangsungnya deliberasi, diskursus, dan perdebatan-perdebatan harus ditekan seminimal mungkin. Logika politik yang sehat harusnya berangkat dari pemikiran perdebatan mengambil tempat di forum lembaga legislatif, daripada menghadapi demonstrasi yang beringas dan anarkis di jalan raya. Ini pada dasarnya berkenaan dengan seni memindahkan sphere of conflict dari jalan raya yang panas ke ruang sidang yang sejuk dan bersih (Ryaas Rasyid, 1997).21
Tujuan dari proses politik adalah untuk menciptakan demokrasi Indonesia yang berkualitas. Tidak hanya mengharapkan demokrasi kuantitatif atau demokrasi numeric yang lebih mementingkan angka-angka suara rakyat pemilih tanpa memperhatikan kualitas demokrasi yang menekankan aspek aspiratif, transparansi, akuntabilitas dan publik resposibility.


21. Ryaas Rasyid, “Perkembangan Pemerintahan Indonesia pada Abad 21”. Pidato pengukuhan Guru Besar, Jakarta, 1997

S. Parmudji 22, membagi lima komponen “democratic government” yang saling berkaitan, yang dari padanya akan muncul pejabat politik ataupun pejabat karir yang akan melaksanakan kepemimpinan pemerintahan kelima komponen yang saling berkaitan itu adalah:
a. Para pemilih, yaitu terdiri dari rakyat yang secara sah memenuhi syarat untuk memberikan suaranya pada lembaga-lembaga yang akan memiliki kekuasaan untuk memerintah,. Para memilih inilah yang secara sah mewakili seluruh rakyat yang pada umumnya tergabung kedalam kelompok-kelompok tertentu.

b. Partai-partai atau kelompok-kelompok kekuatan sosial politik, yang muncul dari tengah-tengah rakyat dan dalam demokrasi mereka mengadakan asosiasi secara bebas. Partai-partai/kelompok-kelompok social politik ini merupakan satu tahap vital yang akan dipilih pemimpin-pemimpin untuk kemudian menjadi calon-calon wakil rakyat, yang akan duduk dalam badan legislatif, pembuat undang-undang, penentu kebijakan Negara dan akan menjadi reservoir darimana para pemimpin pemerintahan ditemukan.

c. Badan legislatif, yaitu suatu lembaga perwakilan yang memikirkan dan membentuk kemauan pemerintah, membuat statuta-statuta, menetapkan kebijakan dan menentukan anggaran. Adapun fungsi lembaga legislatif dipaparkan secara jelas dalam UUD 1945 kemudian kembali di kuatkan dengan UU nomor 12 tahun 2008 dan UU nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik

d. Badan Eksekutif, (dalam konotasi politik), yaitu presiden (di Amerika Serikat) atau perdana menteri (di Inggris) dan anggota kabinetnya pada sistem yang lain. Badan/lembaga inilah yang sebagian tugasnya mebuat peraturan-peraturan, sebagian melaksanakan peraturan-peraturan dan yang sebagian lagi bertanggung jawab untuk menetapkan politik luar negeri dan melaksanakan kepemimpinan umum dalam pemerintahan dan Negara. Badan eksektif dalam sistem Pemerintahan Negara RI terdiri dari presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden dan menteri-menteri Negara.

22
Lihat, Wallace S. Sayre, Bureaucracies, some contrast in sistem, dalam Nimrod Raphaeli, Introduction to comparative Publik Administration, dalam S. Parmudji, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1982.
hal 58

e. Pejabat-pejabat karier, yang membantu pejabat-pejabat eksekutif dan, secara tidak langsung juga badan legislatif. Pejabat-pejabat karier ini kemudian diberi sebutan “birokrasi” pemerintahan, yang bagi sementara pihak mempunyai atau menimbulkan citra yang kurang baik. Oleh Harold Laski, menggabarkan birokrasi sebagai suatu keadaan rutin dalam administrasi, mengorbankan fleksibilitas terhadap peraturan, kelambatan dalam mengambil keputusan-keputusan dan menolak usaha-usaha untuk bereksprimen. Lebih lanjut dinyatakan bahwa birokrasi adalah ancaman bagi pemerintahan yang demokratis. Golongan Laskian ini melihat birokrasi dari seginya yang negative dan hanya memperhatikan ekses dari birokrasi dan oleh karenanya birokrasi harus ditolak. Lain halnya dengan Max Weber yang memandang peranan birokrasi sebagai pahlawan (hero) dan menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai efesiensi yang setinggi-tingginya dan merupakan bentuk administrasi yang paling rasional. Dalam bentuknya yang ideal, dengan birokrasi kegiatan-kegiatan dibagi-bagi menurut cara yang tetap, kekuasaan untuk memerintah dibagi-bagi secara mantap dan dibatasi oleh peraturan-peraturan, hirarki kekuasaan adalah monokratis, manajmen didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis, dan keanggotaan berdasarkan keahlian.
Keterkaitan antara ke lima komponen inilah yang saling mempengaruhi dalam mewujudkan proses politik yang demokratis. Para pemilih yang merupakan pemilik sah suara rakyat senatiasa memberi control terhadap pemerintah dan perwakilannya, legislatif memfungsikan dirinya sebagai pengawas, legislasi dan fungsi lainnya, eksekutif merespon dengan berbagai kebijakan, serta para pejabat karier melakukan proses pelayanan dengan baik. Inilah hasil dari proses demokrasi politik yang diharapkan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin memberikan sebuah catatan kecil mengenai kecenderungan pergeseran prilaku pemilih di Indonesia saat ini. Politik adalah popularitas. Di dunia popularitas semacam ini, media massa, terutama televisi, menjadi panglimanya. Seymour (1989) mengatakan bahwa televisi kini merupakan bagian yang sudah terintegrasi dari kehidupan politik. Kemampuan televisi untuk menjangkau pemirsanya secara cepat dan luas, mulai dari yang tinggal di apartemen mewah hingga ke pelosok dusun, membuatnya selalu diburu oleh mereka yang hidup dari popularitas.
Oleh karena itu, kandidat pejabat publik harus sangat memperhatikan penampilan dirinya ketika tampil di televisi. Mereka harus secara jeli memerhatikan baju apa yang harus dipakai, bagaimana intonasi kalimat-kalimat pidatonya, bagaimana style rambut harus ditata, aksesori apa yang mesti dipakai atau dilepas untuk memperkuat citra dirinya. Pertimbangan semacam itu pada dasarnya mengarah pada bagaimana citra diri kandidat akan dibangun di hadapan publik. Pembangunan citra diri kandidat tersebut tentunya berdasarkan hasil rekomendasi market research; apakah akan dicitrakan sebagai sosok yang cerdas, berwibawa, religius, atau yang lainnya. Fenomena semacam ini yang bakal ditemukan dalam dunia politik Indonesia ke depan. Atau, paling tidak, fenomena ini sudah tergambar pada pemilu presiden tahap kedua di tahun 2004 kemarin. Pada pemilu yang untuk pertama kalinya kandidat presiden dipilih secara langsung tersebut, sumber informasi utama tentang kandidat presiden diperoleh pemilih melalui televisi. Dari televisilah pemilih mendapatkan gambaran citra diri dari masing-masing kandidat presiden.23
Fenomena lainnya, pemilih Indonesia menjadi tampak lebih independen terhadap elite partai politik. Partai politik sudah tidak menjadi referensi utama lagi bagi pemilih. Justru pencitraan diri yang positif yang dibangun melalui media televisi atau media massa, kini menjadi referensi utama bagi pemilih kita. Oleh karena itu, keinginan elite politik tidak selamanya sebangun dengan keinginan para pendukungnya. Persoalannya, apakah pergeseran perilaku pemilih semacam ini sehat bagi perkembangan kehidupan politik Indonesia ke depan? Apabila dilihat dari kacamata partisipasi politik, hal ini tentunya sangat baik. Dengan pemilu langsung, setiap warga negara diberi hak yang sama untuk memilih pemimpin yang mereka sukai. Kehidupan negara tidak lagi hanya ditentukan oleh elite politik, tetapi harus memerhatikan suara orang-orang yang terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial, budaya maupun pendidikan.

Wallahu A’lam Bissawab

23 Lihat makalah Dendi Susianto “Pergeseran Prilaku Pemilih di Indonesia” Penulis adalah Koordinator Wilayah untuk Program Quick Count dan Survei Preferensi Pemilih Pilpres Kedua, LP3ES Jakarta