Rabu, 25 Juni 2014

KNPI Sebagai Rumah Pemuda

Oleh : Mizar Rahmatullah Roem

Bangsa yang matang lahir dari proses yang sulit. Termasuk bangsa Indonesia yang pernah di bawah jajahan Belanda selama 350 tahun dan dilanjutkan dengan kekuasaan Jepang selama 3 setengah tahun. Meski akhir-akhir ini sejarah tersebut telah dianggap mitos karena dianggap tidak logis oleh beberapa pengamat sejarah baru dan ramai diperbincangkan dalam seminar-seminar nasional, tetap saja sejarah tersebutlah satu-satunya cara menggugah rasa nasionalisme masyarakat hingga saat ini. Mengenang para pahlawan, meski hanya tahu sejarah singkatnya masih dianggap sakeral. Patung-patung mereka banyak berdiri kokoh di perbatasan-perbatasan kota, juga digunakan sebagai nama jalan. Namun justru terlalu banyak mengenang seringkali membuat kita lupa menatap masa depan dan mempersiapkan langkah berikutnya. Ibarat sebuah bangunan yang telah runtuh menjadi rata dengan tanah dan hanya meninggalkan puing-puing yang menggunung, haruslah sesegera mungkin dipersiapkan bangunan baru yang lebih kokoh dan bisa menaungi seluruh lapisan masyarakat.
 Pada masa dewasa ini, Indonesia seharusnya telah memiliki tumpuan yang kokoh untuk menjadi negara yang lebih cemerlang di masa mendatang. Fondasi bangsa ini tidak lain adalah pemuda. Menurut budayawan Taufik Abdullah, pemuda bukan cuma fenomena demografis, akan tetapi juga sebuah gejala historis, ideologis, dan juga kultural. (Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, 1987). Sejarah mencatat bahwa perubahan mendasar sejumlah negara di dunia, banyak diantaranya digerakan oleh kaum muda. Demikian pula fase dan periodisasi sejarah perkembangan bangsa Indonesia yang diawali dari issu nasionalisme yang dimotori kaum mda yang tergabung dalam kelompok studi Boedi Oetomo pada tahun 1908.

Kemudian pada fase selanjutnya, semangat nasionalisme ditindaklanjuti dengan komitmen penyatuan identitas kebangsaan, kebahasaan dan tanah air yang satu, sebagaimana disumpah-ikrarkan pemuda pada tahun 1928 melalui Sumpah Pemuda. Dan sampai pada puncaknya, pada tanggal 17 Agustus 1945, identitas ke-Indonesia-an diproklamirkan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Rentetan fase pergerakan kaum muda di masa perjuangan, disatukan oleh komitmen untuk mencapai kemerdekaan, serta terbebas dari penjajahan yang dilakukan oleh kaum kolonial yang kejam dan tidak berprikemanusiaan.

Pada tahun 1966 dengan berbagai kesatuan aksi yang dibentuk pemuda terutama dari golongan mahasiswa kembali menyerukan semangat perubahan. Jargon Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) menjadi seruan utama, dengan desakan tersebut pada akhirnya rezim orde lama berganti menjadi orde baru yang kelahirannya turut dibidani oleh pemuda terutama mahasiswa. Berlanjut kemudian, gerakan mahasiswa juga yang meruntuhkan pemerintahan orde baru akibat produk hukum yang dijalankan bersifat konservatif atau ortodoks, atau dengan kata lain politik yang dijalankan bersifat otoriter berbasis birokrasi dan militer.

Perubahan yang dipelopori oleh pemuda tersebut merupakan wujud dari bersatunya pemuda karena memiliki kepentingan yang sama (common interest) yaitu untuk memajukan Indonesia. Kepentingan bersama tersebut akan semakin menjadi kekuatan yang besar jika diusung oleh pemuda yang memiliki komitmen moral yang tangguh dalam menyongsong negara demokrasi pancasila. Kontribusi pemuda dalam momentum perubahan bangsa tersebut memiliki sisi lain yang paradoks. Fenomena yang terjadi adalah bahwa pemuda hanya sebagai alat mobilisasi politik semata, setelah awal perubahan dimulai maka pemuda pelopor perubahan tersebut seakan menghilang dan tidak memiliki peran dalam mengawal perubahan yang dipeloporinya. Bentuk-bentuk rintangan dan perjuangan pemuda dalam ranah kebangkitan bangsa, tidak dapat dipungkiri tidak lebih merupakan sebuah perjuangan yang hampa dalam perspektif upaya mengisi kemerdekaan. Ada pun pemuda yang turut serta dalam pemerintahan, lebih kepada perwujudan simbol kepemudaan dan cenderung jarang mampu mempertahankan visi dan misi yang sebelumnya diusung, dan yang terjadi tidak lebih dari sebuah regenerasi kepemimpinan bukan proses yang berada pada titik fundamental, yaitu mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang sebenar-benarnya.
Pemuda sejatinya bisa menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya, yaitu menuntaskan agenda reformasi yang terus tertunda. Seperti kata Max Weber, pemuda tak boleh menjadi ekor sejarah, yang gagal menunaikan peran historisnya. Pertanyaannya kemudian darimana peran itu harus dimulai? Para pemuda yang melakukan gerakan nasional berangkat dari meja-meja kajian kampus, organisasi agama, serta kepemudaan daerah. Di Sulawesi Selatan sendiri kita mengenal Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Berdirinya organisasi ini juga diawali keresahan pemuda di beberapa komunitas yang tergabung dalam organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia), Organisasi Mahasiswa Lokal (Somal), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), Ikatan Mahasiswa Bandung (Imaba), dan Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada). Mereka mulai kembali ke akar primordialnya baik secara ideologi maupun politik. Sewaktu melakukan kiprah sendiri-sendiri, pertanyaan-pertanyaan tentang persatuan dan kesatuan pemuda serta perwujudan wajah fisiknya menjadi suatu yang lebih sentral dalam pemikiran kaum muda. Dalam keadaan ini, kaum muda menyadari bahwa diperlukan suatu orientasi baru dalam melihat persoalan bangsa dan negara. Orientasi baru tersebut akan berorientasi pada pemikiran yang jauh melebihi kelompoknya sendiri, sehingga dapat menjangkau seluruh bangsa dimasa kini dan masa yang akan datang. Pada 23 Juli 1973, KNPI dideklarasikan dengan Davd Napitupulu sebagai ketua umum pertama. Dalam sambutannya ia mengatakan bahwa KNPI berbeda dengan bentuk organisasi pemuda yang dikenal sebelumnya, seperti Front Pemuda yang bersifat federasi yang anggotanya terdiri dari ormas-ormas pemuda, Komite ini tidak mengenal keanggotaan ormas, oleh karena itu Komite ini bukanlah suatu federasi. Dengan memberanikan diri menampilkan tokoh-tokoh eksponen pemuda yang bersumber dari semua ormas-ormas pemuda yang ada di tingkat nasional sebagai orang yang dipercaya sebagai pemimpin KNPI ini, maka tidak berlebihan kalau KNPI akan mempunyai resonansi di masyarakat, khususnya di kalangan pemuda.
Pemerintah pun memberikan perhatian khusus kepada organisasi kepemudaan tersebut yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan. Tujuannya pun sangat jelas tertera dalam Bab 2 Pasal 3 yang berbunyi Pembangunan kepemudaan bertujuan untuk terwujudnya pemuda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun entah sejak kapan paradigma hak-hak khusus keanggotaan di KNPI mulai ada. Organisasi ini dianggap sebagai komunitas elitis yang menampung orang-orang ternama saja. Sehingga membatasi peran serta lembaga kemahasiswaan dan kepemudaan untuk secara spontan terlibat dalam aktivitas kepemudaan di masyarakat yang diselenggarakan oleh KNPI. KNPI seharusnya menjadi tempat bagi para individu pemuda untuk mencari jati dirinya, mengarahkan potensinya, serta membentuk kapasitas pribadinya (personal capacity) hingga menjadi pribadi yang matang dan mapan di masa depan, sehingga mereka tidak ragu keluar dari paradigma kedaerahannya untuk menjawab tantangan nasional dan dunia yang lebih kompleks.
Namun semua itu dimulai dengan peningkatan peran dan pola hubungan yang dinamis bagi organisasi kepemudaan, ini dalam rangka  melahirkan Sumber Daya pemuda lokal yang mandiri, punya daya saing atau kompetensi dalam berperan aktif pada pembangunan di Sulawesi Selatan.
Beberapa  strategi dalam mewujudkan hal diatas diantaranya :
Pertama, mengintensifkan kegiatan-kegiatan kepemudaan di semua lapisan masyarakat, dimana dengan memaksimalkan pelibatan pemuda dari semua lapisan pada sebuah kegiatan akan menghadirkan rasa kebersamaan dan kesadaran dalam diri masing-masing guna membangun daerah dan masyarakatnya. KNPI seharusnya tidak menciptakan kesan bahwa ada jarak yang berlebihan dengan OKP ataupun dengan teman-teman aktivis Mahasiswa. Jarak yang dimaksud adalah adanya stigma bahwa KNPI adalah organisasi yang elitis yang menempatkan KNPI sebagai organisasi yang hanya untuk kalangan tertentu saja.
  Kedua, pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang menunjang peningkatan intelektual kaum muda serta mengintensifkan pelatihan-pelatihan yang mampu mendongkrak kapasitas kompetensi pemuda dan Mahasiswa di Sulsel.
  Ketiga, yang tak kalah peting adalah memaksimalkan fungsi dan peran partisipasi aktif ataupun kemitraan antara pemuda/ KNPI di Sulawesi Selatan dengan pemerintah dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan SDM dan SDA di Sulsel. Pemerintah dan organisasi kepemudaan harus melakukan program yang sinergi dengan kepentingan masyarakat di semua lapisan.

Revolusi Mental ??


Mungkin ada yg tahu tentang info dibawah ini? Sejauh mana ya kebenarannya Istilah REVOLUSI MENTAL yg dipakai Jokowi sebagai Jargon Kampanyenya? Saya baru TAHU..dari status teman....Jargon dan istilah yang dipakai JOKOWI-JK dalam Debat Capres beberapa hari yang lalu, ternyata bukan istilah Baru, istilah REVOLUSI MENTAL pertama kali dipopulerkan oleh Bapak Sosialis-Komunis Dunia yg bernama KARL MARX. dimana pemikirannya sangat Banyak dipengaruhi oleh Filosofis Atheis Young Hegelian yg sangat terkenal di Berlin, Bahkan KARL MARX muda waktu itu aktif di perkumpulan Pemuda Hegelian yg merupakan kelompok Ekstrim kiri anti Agama yg beranggotakan para Dosen Muda dan pemuda ekstrim kiri, istilah REVOLUSI MENTAL ini dibuat untuk program Cuci Otak dalam pengembangan faham Sosialis-Komunis dikawasan eropa yg kapitalis , karena Agama yg dogmatis dianggap sebagai penghambat dalam pengembangan faham Komunis ......
Istilah REVOLUSI MENTAL juga dipakai oleh pendiri Partai Komunis China yg bernama CHEN DUXIU bersama temannya yg bernama Li DAZHAO sebagai doktrin dan cuci otak kepada para Buruh dan Petani dalam menentang kakaisran China... di Indonesia istilah REVOLUSI MENTAL istilah ini mulai dipakai oleh seotang pemuda asal Belitung yang bernama AHMAD AIDIT anak dari ABDULLAH AIDIT dan kemudian mengganti namanya menjadi DIPA NUSANTARA AIDIT ( DN AIDIT ) dan ketika ayahnya bertanya kenapa namamu diganti...? AIDIT menjawab saatnya REVOLUSI MENTAL dimulai dg mengganti hal2 yg akan menghambat pergerakan.. termasuk nama AHMAD yg berbau Agama harus dibuang , dan setelah DN AIDIT terpilih jadi ketua PKI, dia sukses menerapkan istilah REVOLUSI MENTAL kepada para Kader PKI, dan ormas2 PKI lainnya seperti PEMUDA RAKYAT, BARISAN TANI INDONESIA, GERWANI , SOBSI DAN LEKRA yang dianggap simbol perlawanan kepada kaum Feodalis...
Referensi-nya:The Comunist Manifesto, by Karl Marx dan Muadz Amoudi



Minggu, 10 Mei 2009

PARADIGMA KEPEMIMPINAN KAUM MUDA “SEBUAH ANALISIS DALAM RANGKA MEMPERSIAPKAN PEMIMPIN MUDA YANG KUAT DAN LAYAK JUAL DI PENTAS NASIONAL ”

Oleh : Ilham Syah Azikin 
  1. Prolog
Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama tentang kepemimpinan  setidaknya harus melingkupi 3 dimensi : kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.
Jika pemimpinnya  hanya memiliki kebersihan hati tanpa kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinnya bisa gampang stagnan.Begitupun sebaliknya.
          Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti di “menara gading” alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tetapi juga mengganggu kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.
Wacana kepemimpinan kaum muda terus ramai diperbincangkan publik. Hal itu disebabkan kondisi bangsa ini yang semakin hari semakin tak menentu. Problematika kenegaraan sangat kompleks. Wacana ini patut diapresiasi, anak-anak muda negeri ini mulai sadar, bangsa ini perlu pemikiran dan semangat segar.
Historis bangsa ini lahir dan terbentuk dari peran kaum muda dan tuanya. Ini terlihat dari Gerakan Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Java, pada masa pra kemerdekaan, lalu disusul oleh Tan malaka, Moh. Syahril, Soekarno, Moh Hatta dsb. 
Sejarah juga mencacat bahwa kemerdekaan yang selama ini kita nikmati adalah jerih payah kaum muda. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari mendirikan Muhammadiyah dan NU saat usia mereka masih relatif muda dan lainya adalah tokoh muda yang berada dalam garis terdepan kemerdekaan bangsa ini.
Usia mereka tidak lebih dari 40 tahun. Mereka mempunyai semangat juang dalam memerdekaan bangsa dan negara dari penjajah. Ketika mereka di penjara pun, aktivitas kepemudaan seperti menulis dan diskusi menjadi hal yang biasa.
Dari fase sejarah perjuangan bangsa, boleh jadi para pemuda menepuk dada betapa kontribusi itu jelas tergambar secara gamblang. Namun, terlepas dari euforia perjalanan perubahan ada hal mendasar yang menjadi problematika dan belum terpecahkan hingga sekarang. Dari masa ke masa, pemuda lebih berperan sebagai katalis perubahan yang belum memiliki peran cukup signifikan dalam pencapaian tujuan dari perubahan itu sendiri. Seperti halnya pada masa peralihan pemerintahan dari orde lama ke orde baru, terdapat pengharapan besar dari kaum muda akan lahirnya sebuah pemerintahan yang lebih sejahtera dan demokratis.
Terlepas dari berbagai latar belakang lahirnya semangat kepemimpinan muda, hasrat tersebut tentu sangat beralasan baik itu ditinjau dari segi teoritis dan praktis kapasitas kaum muda maupun dari realitas kepemimpinan yang ada. Kepemimpinan yang masih disetir oleh kaum tua dan dianggap belum bisa membawa bangsa keluar dari sarang problem. Keduanya tidak bisa diparsialkan dalam membuat alasan mengapa kepemimpinan muda itu menjadi sesuatu yang dibutuhkan.

1. Kaum Muda Memimpin….?
 Akhir-akhir ini sering kita dengar slogan ‘Saatnya kaum muda memimpin”, atau ‘perlunya kepemimpinan orang muda’ atau ada yang agak ekstrim, ‘kaum muda berkuasa kaum tua tersingkirkan.’ Wacana ini digelindingkan bak bola salju. Mulai dari dikusi, seminar, kajian, penelitian, debat sampai beberapa partai yang akan bertarung dalam kontes pemilu 2009 nanti pun mengusung tema ini.   
Lantas apakah dengan naiknya kaum muda sebagai pemimpin, segala budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang merupakan biang kegagalan Indonesia bisa dihapuskan? Apakah kepemimpinan oleh kaum muda sertamerta menjadi solusi untuk menyelamatkan negara ini? Dari situ kemudian, berkembanglah wacana tentang kepemimpinan baru yang efektif.   Sayang, tema yang menonjol dan mengemuka untuk isu yang mereka bawa adalah dikotomi pemimpin tua dan pemimpin muda usia. Kaum muda terkesan merangsek untuk menggeser para senior. Ingin dimunculkan janji, jika orang muda seperti mereka tampil memimpin, persoalan beres; pemimpin muda adalah resep paling mujarab menyelesaikan persoalan kebangsaan kita yang menggunung. Memang tidak ada yang salah dari gaung suara kelompok muda itu. Wajar kiranya mereka menggugat waktu yang tersia-sia untuk sabar dan menunggu dari elit tua pasca reformasi, yang semakin kehilangan orientasi.
Persepsi yang muncul adalah seolah-olah pergantian kekuasaan adalah seperti bertukar tempat duduk angkutan umum atau antri tiket bioskop. Kaum tua tinggal bergeser ke belakang atau kesamping karena menghalangi langkah atau mengganggu ruang gerak orang muda yang hendak step forward.

2.  Menanti Kerelaan Tua
Indikasi kegagalan kaum tua  menjadi alasan pentingnya kepemimpinan kaum muda. Kepemimpinan kaum muda ditawarkan sebagai solusi dengan asumsi bahwa kaum muda memiliki kompetensi,integritas, kapabilitas, kreativitas, progresivitas, idealisme, dan terutama komitmen moral untuk membangun bangsa.Pertanyaannya adalah semudah itukah kaum muda dapat tampil dan berperan dalam pentas politik Tanah Air? 
Pemimpin tua dan muda merupakan sesuatu yang patut disikapi secara wajar, tidak perlu dipertentangkan apalagi diributkan yang penting adalah bagaimana mensinergiskan keduanya. Intinya adalah pemimpin itu entah muda, entah tua bukanlah sesuatu yang harus menjadi beban dan isu politik. Bahkan, yang utama adalah komitmen moral yang utuh dari pemimpin itu. Bukan komitmen yang sifatnya bombastissloganistis tanpa arah, hanya sekadar mengelabui massa atau masyarakat. Sebab rakyat memilih pemimpin bukan isu atau slogan! Terlepas dari kelemahan isu dan gerakan kaum muda itu, wacana dan isu pemimpin muda ini menunjukan adanya kegelisahan dan kepedulian dari kaum mudam untuk ikut serta dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa.
 B.  Paradigma Kepemimpinan Kaum Muda “Sebuah Analisis”
Menurut M. Masad Masrur (Intelektual dan Kepemimpinan Kaum Muda, 2007), ada tiga karakteristik kepemimpinan dan intelektual kaum muda. Pertama, kaum muda yang mempunyai ide-gagasan, kreatif, kritis, dan mau tampil. Tipe pemuda itu merupakan kaum muda yang paripurna. Kedua, kaum muda yang mempunyai ide-gagasan, kreatif, kritis, tapi tidak mau tampil. Men of behind, yaitu jenis kaum muda dengan kualitas baik. Ketiga, tipe kaum muda yang tidak punya ide-gagasan, tidak kreatif, tidak kritis, dan tidak mau tampil. Jenis kaum muda itu pasif dan cenderung menjadi "benalu" dalam setiap aktivitas yang melingkari kaum muda.
Menurut Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif , bangsa ini sudah di ambang kehancuran dan tuna keadaban yang tidak mengenal lagi nilai-nilai moralitas. Melihat dua fenomena dan potret bangsa tadi, sudah selayaknya bagi kita yang muda untuk mengusung dan memformulasikan kembali aras pemikiran dan menyatakan siap tampil dalam ranah kehidupan bangsa ini. Kegagalan masa lalu kita niatkan untuk tidak akan terulang bagi generasi yang akan datang. Walau untuk membenahi negara dan daerah yang multikrisis ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, namun dengan langkah antisipatif dan mempersiapkan generasi muda yang lebih matang, akan relative membuka jalan bagi kebangkitan bangsa dan daerah ini kedepan. Bukankah kaum muda Indonesia telah menujukkan kiprahnya dalam menentang katidakadilan di negara ini? Maka sebagai kalangan muda, mau tidak mau sekarang kita harus mempersiapkan diri untuk menjadi ikon bangsa dan daerah ini ke depan. 
Beberapa hal yang menjadi agenda kepemimpinan kaum muda, Pertama, Jadilah generasi muda yang cakap ilmu dan kemantapan iman. Jika kedua unsur ini tidak lagi terbentuk dalam jiwa generasi muda sekarang, tentu dampak kehidupan masyarakat kedepan jauh akan lebih parah dari sekarang. Untuk meraih kemajuan banga ini, bukanlah dengan mengangan-angankannya saja, tapi dengan ilmu. Keunggulan ilmu tidak dapat dirasakan apabila tidak dilandasi dengan iman.  Kedua, kedewasaan mental dan kearifan global. Ini bagian dari skill anak muda kita yang juga harus dapat diciptakan melalui budaya bangsa ini. Ini tercermin dari sikap mau berdialog, bersikap pluralistik, dan berlaku toleran sekaligus mampu menjalin kerjasama dengan berbagi pihak.  Ketiga, melihat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, maka bagi kaum muda dituntut untuk memiliki penghayatan keagamaan yang substantive yang tidak mudah terjebak dalam aras formalistik dan simbolik. Karena kejumudan pikiran kian menjauhkan bangsa ini dari kemajuan. Pemahaman agama harus mampu diciptakan ke arah yang lebih toleran, progressive dan terbuka.
Jadikan acuan kedepan untuk mempersiapkan kaum muda yang kuat dan layak jual di pentas nasional dan dunia, karena Islam mengajarkan pada umatnya, “agar setiap manusia harus khawatir jika meninggalkan generasi muda yang lemah mentalnya,” Karena hari esok bukanlah untuk generasi tua hari ini, melainkan buat generasi muda sekarang dan yang akan datang.
Semangat kaum muda adalah semangat perubahan. Regenerasi dan pembeliaan perlu dilakukan. Maksud pembelian disini bukan terpaku pada umur saja, tetapi ia boleh tua asal memiliki progresivitas seperti anak muda. Kategori muda memiliki dua arti, yaitu, dari segi umur dan pemikiran meminjam Istilah Ridho Alhamdi “muda tidak mesti anti tua.
         C. Penutup
Sebagai catatan akhir dalam upaya melahirkan pemimpin muda  berkualitas yakni sebuah permenungan  terhadap filosofi menjadi pemimpin. pemimpin bisa diringkas dalam satu kata saja, yaitu di depan. Menjadi seorang pemimpin berarti memiliki kualifikasi "berada di depan", bukannya "di atas".
Pemimpin "di atas" menggunakan hanya jari telunjukknya untuk menyatakan "kerjakan", sementara pemimpin yang "di depan" menggunakan seluruh jari tangannya untuk menyatakan "mari kita lakukan". Pemimpin "di atas", menggunakan seluruh jari tangannya untuk "memukul", sementara yang "di depan" menggunakan seluruh jari tangannya untuk "mengajak". Pemimpin "di atas" menggunakan tangannya untuk "mematahkan", sementara pemimpin "di depan" menggunakan tangannya untuk "menyatukan". Pemimpin yang "di atas", menggunakan jempolnya untuk memuji sementara keempat jemari lainnya terarah kepadanya, sementara pemimpin yang "di depan" menggunakan kelima jarinya untuk "menarik" dan "mendorong".
Begitulah. Menjadi pemimpin Muda yang "di depan", memang tidak gampang. Yang berada di depan berarti bersiap untuk dinilai oleh yang dibelakang. Tetapi pada saat yang sama, juga harus menjadi pedoman bagi yang di belakang. Di Skotlandia, bebek-bebek (terbang) biasanya hijrah ke Selatan. Mereka terbang melintasi perjalanan bermil-mil jauhnya, dan membentuk formasi untuk memudahkan perjalanan. Untuk itu, mereka menempatkan seekor bebek pemimpin di depan, bukannya di belakang, terlebih bukan di atas.  Pemimpin memang bukan bebek yang hanya bisa membebek. Tetapi bebek bisa menjadi pelajaran. Bahwa pemimpin yang berada di depan memang harus bisa menjadi panutan. Menjadi panutan, yang mampu mengarahkan, memberi pedoman, termasuk mengetahui kondisi yang dibelakang.
  Makassar, 12 Mei 2009

















Rabu, 03 Desember 2008

Ekspektasi Masyarakat terhadap Institusi Politik dalam Pembagunan Demokrasi

Andi Harianto

Jurgen Habermas menekankankan perlu tercipta ke khasan dari institusi politik dalam membangun demokrasi. Ia mengungkapkan bahwa reproduksi masyarakat super kompleks bergantung pada sistem pengendalian tertentu, yakni atas subsistem politik. Dengan meningkatnya kemampuan memproses informasi dan kemampuannya dalam membedakan diri dengan subsistem-subsistem social lainnya dimana sistem politik memperoleh otonomi yang unik di dalam masyarakat. Politik tidak lagi terus mengira-ngira dasar keputusannya.
Politik harus menciptakan dirinya sendiri. Ia harus memenuhi legitimasinya sendiri dalam sebuah situasi yang terbuka secara defenitif dan yang secara structural tidak terbatasi oleh penghargaan terhadap kesempatan-kesempatan terwujudnya consensus dan hasil-hasil yang diinginkan. Pemisahan sistem legitimasi memungkinkan terjadinya otonomi proses-proses putusan vis-à-vis masukan dari motivasi, nilai dan kepentingan umum.20
Pembentukan nilai-nilai politik baru yang demokratis nanti menjadi relevan setelah reformasi. Kekerasan dan ketidak stabilan yang disebabkan oleh derasnya perubahan social dan tingginya mobilitas politik dan lambannya proses perkembangan lembaga-lembaga politik, harus diakhiri dengan mengembangkan nilai-nilai baru yang sesuai dengan tuntutan perubahan. Mengembangkan nilai-nilai demorasi berarti menumbuhkan sikap-sikap politik yang menghindari konflik dan menghadirkan mekanisme agar supaya konflik dapat dikendalikan sehingga tidak merugikan masyarakat. Diantara hukum yang menguasai manusia menurut Tocqueville, apabila manusia harus tetap beradap atau menjadi beradab, seni untuk mempersatukan diri harus senantiasa tumbuh dan mengikat rasio sebagai bahagian dari budaya politik yang harus selalu dikembangkan.
Adapun khusus untuk pemerintah sebagai fasilitator dan supporting pembangunan demokrasi harus melakukan peran untuk penguatan legitmasi yang ditentukan oleh kemampuan akseptabilitas pemerintah. Akseptabilitas suatu pemerintahan akan menentukan derajat legetimasi pemerintahan. Untuk bisa secara politik akseptabel, haruslah pemerintah lebih akomodatif terhadap berbagai kelompok-kelompok politik.

Baca, Jurgen Habermas, Krisis Legitimasi, ,Penerbit Qalam, Cetakan Pertama, yokyakarta, Juli 2004, hal 348- 349

Dalam praktek pemerintahan, jaminan terhadap kesamaan hak, jaminan kebebasan untuk berkumpul, mengeluarkan pendapat adalah suatu kebutuhan. Selain itu representasi rakyat dapat memainkan peran sebagi forum untuk wacana publik yang terbuka, bebas, sehat dengan otoritas yang cukup dalam penetapan kebijakan publik. Meskipun hasil pemilu sekarang ini telah mencoba membentuk citra baru, akan tetapi rakyat masih cenderung lebih percaya pada efektifitas lembaga-lembaga yang bersifat ad hoc, seperti KPK, Komnas Ham, Kontras, LBH, dan sebagainya dari pada DPR atau DPRD dalam menangani isyu-isyu sensitive. Fenomena ini menunjukkan bahwa institusi politik formal belum mampu menggeser wacana publik atas masalah-masalah sensitive dan strategis dari luar ke dalam forum institusi politik.
Membangun demokrasi mensyaratkan terbentuknya kepercayaan rakyat yang memadai terhadap pemerintah. Dalam konteks kini, harus ada kesadaran bagi pemerintah yang berkuasa saat ini, maupun yang akan berkuasa nanti setelah pemilu 2009, bahwa pemberdayaan lembaga perwakilan adalah suatu keperluan yang mendesak manakala demokrasi hendak dibangun. Hak-hak legislatif perlu dioptimalkan, hambatan-hambatan prosedural dan hambatan psikologis untuk berlangsungnya deliberasi, diskursus, dan perdebatan-perdebatan harus ditekan seminimal mungkin. Logika politik yang sehat harusnya berangkat dari pemikiran perdebatan mengambil tempat di forum lembaga legislatif, daripada menghadapi demonstrasi yang beringas dan anarkis di jalan raya. Ini pada dasarnya berkenaan dengan seni memindahkan sphere of conflict dari jalan raya yang panas ke ruang sidang yang sejuk dan bersih (Ryaas Rasyid, 1997).21
Tujuan dari proses politik adalah untuk menciptakan demokrasi Indonesia yang berkualitas. Tidak hanya mengharapkan demokrasi kuantitatif atau demokrasi numeric yang lebih mementingkan angka-angka suara rakyat pemilih tanpa memperhatikan kualitas demokrasi yang menekankan aspek aspiratif, transparansi, akuntabilitas dan publik resposibility.


21. Ryaas Rasyid, “Perkembangan Pemerintahan Indonesia pada Abad 21”. Pidato pengukuhan Guru Besar, Jakarta, 1997

S. Parmudji 22, membagi lima komponen “democratic government” yang saling berkaitan, yang dari padanya akan muncul pejabat politik ataupun pejabat karir yang akan melaksanakan kepemimpinan pemerintahan kelima komponen yang saling berkaitan itu adalah:
a. Para pemilih, yaitu terdiri dari rakyat yang secara sah memenuhi syarat untuk memberikan suaranya pada lembaga-lembaga yang akan memiliki kekuasaan untuk memerintah,. Para memilih inilah yang secara sah mewakili seluruh rakyat yang pada umumnya tergabung kedalam kelompok-kelompok tertentu.

b. Partai-partai atau kelompok-kelompok kekuatan sosial politik, yang muncul dari tengah-tengah rakyat dan dalam demokrasi mereka mengadakan asosiasi secara bebas. Partai-partai/kelompok-kelompok social politik ini merupakan satu tahap vital yang akan dipilih pemimpin-pemimpin untuk kemudian menjadi calon-calon wakil rakyat, yang akan duduk dalam badan legislatif, pembuat undang-undang, penentu kebijakan Negara dan akan menjadi reservoir darimana para pemimpin pemerintahan ditemukan.

c. Badan legislatif, yaitu suatu lembaga perwakilan yang memikirkan dan membentuk kemauan pemerintah, membuat statuta-statuta, menetapkan kebijakan dan menentukan anggaran. Adapun fungsi lembaga legislatif dipaparkan secara jelas dalam UUD 1945 kemudian kembali di kuatkan dengan UU nomor 12 tahun 2008 dan UU nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik

d. Badan Eksekutif, (dalam konotasi politik), yaitu presiden (di Amerika Serikat) atau perdana menteri (di Inggris) dan anggota kabinetnya pada sistem yang lain. Badan/lembaga inilah yang sebagian tugasnya mebuat peraturan-peraturan, sebagian melaksanakan peraturan-peraturan dan yang sebagian lagi bertanggung jawab untuk menetapkan politik luar negeri dan melaksanakan kepemimpinan umum dalam pemerintahan dan Negara. Badan eksektif dalam sistem Pemerintahan Negara RI terdiri dari presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden dan menteri-menteri Negara.

22
Lihat, Wallace S. Sayre, Bureaucracies, some contrast in sistem, dalam Nimrod Raphaeli, Introduction to comparative Publik Administration, dalam S. Parmudji, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1982.
hal 58

e. Pejabat-pejabat karier, yang membantu pejabat-pejabat eksekutif dan, secara tidak langsung juga badan legislatif. Pejabat-pejabat karier ini kemudian diberi sebutan “birokrasi” pemerintahan, yang bagi sementara pihak mempunyai atau menimbulkan citra yang kurang baik. Oleh Harold Laski, menggabarkan birokrasi sebagai suatu keadaan rutin dalam administrasi, mengorbankan fleksibilitas terhadap peraturan, kelambatan dalam mengambil keputusan-keputusan dan menolak usaha-usaha untuk bereksprimen. Lebih lanjut dinyatakan bahwa birokrasi adalah ancaman bagi pemerintahan yang demokratis. Golongan Laskian ini melihat birokrasi dari seginya yang negative dan hanya memperhatikan ekses dari birokrasi dan oleh karenanya birokrasi harus ditolak. Lain halnya dengan Max Weber yang memandang peranan birokrasi sebagai pahlawan (hero) dan menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai efesiensi yang setinggi-tingginya dan merupakan bentuk administrasi yang paling rasional. Dalam bentuknya yang ideal, dengan birokrasi kegiatan-kegiatan dibagi-bagi menurut cara yang tetap, kekuasaan untuk memerintah dibagi-bagi secara mantap dan dibatasi oleh peraturan-peraturan, hirarki kekuasaan adalah monokratis, manajmen didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis, dan keanggotaan berdasarkan keahlian.
Keterkaitan antara ke lima komponen inilah yang saling mempengaruhi dalam mewujudkan proses politik yang demokratis. Para pemilih yang merupakan pemilik sah suara rakyat senatiasa memberi control terhadap pemerintah dan perwakilannya, legislatif memfungsikan dirinya sebagai pengawas, legislasi dan fungsi lainnya, eksekutif merespon dengan berbagai kebijakan, serta para pejabat karier melakukan proses pelayanan dengan baik. Inilah hasil dari proses demokrasi politik yang diharapkan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin memberikan sebuah catatan kecil mengenai kecenderungan pergeseran prilaku pemilih di Indonesia saat ini. Politik adalah popularitas. Di dunia popularitas semacam ini, media massa, terutama televisi, menjadi panglimanya. Seymour (1989) mengatakan bahwa televisi kini merupakan bagian yang sudah terintegrasi dari kehidupan politik. Kemampuan televisi untuk menjangkau pemirsanya secara cepat dan luas, mulai dari yang tinggal di apartemen mewah hingga ke pelosok dusun, membuatnya selalu diburu oleh mereka yang hidup dari popularitas.
Oleh karena itu, kandidat pejabat publik harus sangat memperhatikan penampilan dirinya ketika tampil di televisi. Mereka harus secara jeli memerhatikan baju apa yang harus dipakai, bagaimana intonasi kalimat-kalimat pidatonya, bagaimana style rambut harus ditata, aksesori apa yang mesti dipakai atau dilepas untuk memperkuat citra dirinya. Pertimbangan semacam itu pada dasarnya mengarah pada bagaimana citra diri kandidat akan dibangun di hadapan publik. Pembangunan citra diri kandidat tersebut tentunya berdasarkan hasil rekomendasi market research; apakah akan dicitrakan sebagai sosok yang cerdas, berwibawa, religius, atau yang lainnya. Fenomena semacam ini yang bakal ditemukan dalam dunia politik Indonesia ke depan. Atau, paling tidak, fenomena ini sudah tergambar pada pemilu presiden tahap kedua di tahun 2004 kemarin. Pada pemilu yang untuk pertama kalinya kandidat presiden dipilih secara langsung tersebut, sumber informasi utama tentang kandidat presiden diperoleh pemilih melalui televisi. Dari televisilah pemilih mendapatkan gambaran citra diri dari masing-masing kandidat presiden.23
Fenomena lainnya, pemilih Indonesia menjadi tampak lebih independen terhadap elite partai politik. Partai politik sudah tidak menjadi referensi utama lagi bagi pemilih. Justru pencitraan diri yang positif yang dibangun melalui media televisi atau media massa, kini menjadi referensi utama bagi pemilih kita. Oleh karena itu, keinginan elite politik tidak selamanya sebangun dengan keinginan para pendukungnya. Persoalannya, apakah pergeseran perilaku pemilih semacam ini sehat bagi perkembangan kehidupan politik Indonesia ke depan? Apabila dilihat dari kacamata partisipasi politik, hal ini tentunya sangat baik. Dengan pemilu langsung, setiap warga negara diberi hak yang sama untuk memilih pemimpin yang mereka sukai. Kehidupan negara tidak lagi hanya ditentukan oleh elite politik, tetapi harus memerhatikan suara orang-orang yang terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial, budaya maupun pendidikan.

Wallahu A’lam Bissawab

23 Lihat makalah Dendi Susianto “Pergeseran Prilaku Pemilih di Indonesia” Penulis adalah Koordinator Wilayah untuk Program Quick Count dan Survei Preferensi Pemilih Pilpres Kedua, LP3ES Jakarta

Minggu, 16 November 2008

PERAN GENERASI MUDA
DALAM UPAYA MENGKAWAL PEMBANGUNAN DI KAB. GOWA

Oleh :
ANSHAR AMINULLAH

Mencermati kembali kondisi generasi muda saat ini, maka terkadang muncul rasa prihatin kita yang cukup mendalam, namun di lain saat rasa bahagia itupun masih sering muncul. Betapa tidak, sejuta harapan yang tertumpu pada pundak mereka menjadi spirit bagi generasi muda itu sendiri dalam membangun kembali bangsa yang seakan sudah terkoyak oleh arus jaman yang seakan tak bersahabat.
Wacana tentang peran dan fungsi pemuda semakin banyak diperbincangkan berbagai kalangan. Hal ini merupakan indikasi bahwa peran dan fungsi pemuda dalam segala lini kehidupan sudah patut untuk diperhitungkan dan diberikan ruang. Berkembangnya wacana bahwa peran pemuda sangat besar dalam aktivitas kemasyarakatan telah menjadi satu isu strategis pengembangan pembangunan ke depan.
Oleh karma itu, ada hal penting yang harus menjadi catatan tersendiri bagi generasi muda sekarang ini, yakni, generasi muda harus menimbang kembali posisinya, apa yang dapat diperankan dengan mengoptimalisasi segenap potensi yang ada. Generasi muda diharapkan mengenali jati dirinya secara tepat.
Dalam konteks penentuan jatidiri generasi muda, orientasi rasional-objektif harus dikedepankan. Jika ini dapat tercapai maka akan lahir generasi yang mampu memberikan sesuatu yang berguna bagi dirinya, lingkungannya, bangsa, Negara, kemanusiaan, dan kehidupan. Generasi muda ini yang kemudian menjadi lebih produktif, menghasilkan karya-karya yang bermanfaat, mempelopori dan menciptakan prestasi-prestasi karya dan kerja yang optimal bagi kemajuan manusia dan kemanusiaan.
Sebagai generasi penerus masa depan bangsa, pemuda harus tetap konsisten dengan semangatnya untuk belajar bersama, sehingga terdorong dan tumbuh berkembang sebuah proses dialektika intelektualitas khususnya pemuda di Kab. Gowa, sehingga muncul sumbangan-sumbangan pemikiran yang berharga bagi kemajuan daerah . Pengembangan etos kemandirian , kerja keras serta jiwa kewirausahawan (entrepreneurship) menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam iktiar kaum muda guna berpartisipasi dalam pembangunan daerah, khususnya dalam memacu pertumbuhan perekonomian di kab. Gowa.
Dalam persaingan yang makin kompetitif, hanya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan yang dapat survive dan berkembang. Pemuda hari ini adalah mereka yang punya bekal bersaing bukan hanya pada kawan sekampungnya, namun lebih dari itupun harus dinilikinya.
Disisi lain, proses menumbuhkan kemadirian baik secara individual maupun secara kelompok bagi generasi muda, menjadi hal penting. Ini dilakukan untuk memulai agenda yang cukup strategis, salah satunya adalah Pemberdayaan Masyarakat Lokal, penumbuhan kemandirian. Hal tersebut diawali dengan penguatan Sumber daya Manusia, Secara spesifik untuk penguatan Sumber Daya Manusia menjadi pokok prioritas untuk agenda Partisispasi generasi muda dalam membangun masyarakat/penguatan masyarakat lokal yang di tentukan oleh ketersediaan kecakapan personal maupun kecakapan sosial (dalam bingkai institusi organisasi maupun masyarakat).
Beberapa catatan tambahan yang perlu diingat oleh generasi muda dalam upaya mengkawal pembangunan di kab. Gowa yakni :
1. Melakukan pengkajian dan diskusi kepemudaan secara spesifik yang dikaitkan dengan pemahaman terhadap peran dan tanggungjawabnya.
2. Senantiasa sadar tentang peran pemuda secara mendalam sehingga mereka memahami posisi dan peran yang harus diambil secara proporsional.
3. Memahami mengenai pentingnya Sadar Pembangunan berkaitan dengan peran dan fungsinya selaku generasi muda.
4. Melakukan peningkatan kapasitasnya sesuai konteks jaman dan kondisi yang dihadapinya.
Agaknya tulisan cukup singkat, itupun juga berlaku bagi peserta pada kegiatan ini khususnya, dan pemuda Gowa pada umumnya. Akhirnya marilah kita resapi firman Allah SWT: “fa inna ma’al ‘usri yusra, inna ma’al usri yusro”. Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan [dan] berserta kesulitan selalu ada kemudahan. Juga: “fa idza faraghta fanshab wailaa rabbika farghab”. Bila engkau telah selesai dengan satu pekerjaan, segeralah bangkit kembali untuk membuat prestasi baru dan kepada Tuhanmu hendaknya engkau sandarkan harapan. Kita harus terus bergerak kedepan tanpa pernah berhenti. Seperti kata Bung Karno, for a fighting nation, there is no journey’s end. Bagi satu bangsa yang sedang berjuang, tidak ada stasiun akhir.
Billahi Taufiq Wal Hidayah
MEMAKNAI EKSISTENSI PERAN STRATEGIS MAHASISWA DALAM SEBUAH DINAMIKA KEMAHASISWAAN DAN KEBANGSAAN
(Upaya Mengembalikan Semangat Khittah Perjuangannya)

Oleh : Alamsyah Demma

“Jadikan sejarah sebagai sebuah referensi
Namun jangan jadikan sejarah sebagai
Sebuah fakta belaka”

Sudah menjadi idiom bahwa sebuah bangsa bisa menjadi kuat, adalah apabila bangsa tersebut memiliki mahasiswa yang kuat, kuat dalam makna fisik ataupun dalam makna ide. Suatu bangsa akan maju, jika memiliki keniscayaan masa depan, apabila mampu melahirkan mahasiswa yang tangguh , melalui pemberian ruang kreatif yang luas dan terbuka (bebas), serta suatu lingkungan sosial politik yang dapat mendukung para mahasiswa untuk berekspresi dan berapresiasi dalam sebuah ruang dan waktu yang tepat.

Perjalanan sejarah pergerakan di Indonesia memperlihatkan bahwa peran mahasiswa memiliki perbedaan corak disetiap era atau zaman. Misalkan di Era 1940-an, mahasiswa berperang penting dalam menghantarkan bangsa Indonesia untuk mendeklarasikan kemerdekaan. Pada era 1960-an, realitas sejarah tidak terpungkiri bahwa runtuhnya orde lama adalah karena andil mahasiswa. Pada tahun 1990-an, ketika kepemimpinan Orde Baru harus lengser, mahasiswa kembali menempati garda terdepan dalam melaksanakan reformasi. Ditahun 2000-an sekarang ini selayaknya mahasiswa dituntut untuk menunjukkan peran sebagaimana yang pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya, setidak-tidaknya mampu menunjukkan semangat kolektif dan kemampuan kretif.

Mencermati rentetan peristiwa penting dalam konteks sejarah bangsa Indonesia , dimana menempatkan mahasiswa sebagai faktor signifikan dalam konteks politik, maka berdasar pada pemikiran prediktif kebanyakan kalangan menyimpulkan bahwa masa depan bangsa ini berada di tangan mahasiswa. Betapa tidak, kasus salah seorang politisi Indonesia yang ditangani oleh seorang Hakim yang bergelar Agung pun tak mampu untuk menyuarakan bahwa yang hak adalah hak dan yang bathil adalah bathil, jadi sebagai rakyat yang masih sadar akan agama tak ada yang tepat kita lakukan selain memohonkan ampun atas kesalahan dan kekhilafan yang telah mereka perbuat. Lantas siapa lagi yang akan diharapkan untuk menyuarakan kebenaran itu sendiri selain kepada mahasiswa.

Namun mahasiswa sekarang seakan terlena dengan nostalgia kebesaran masa lalu. Ironis memang , karena kebesaran masa lalu itu selalu saja menjadi indikator pembanding kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa sekarang ini. Karena kebesaran masa lalu itulah sehingga hampir menina bobokkan mahasiswa sekarang karena ada sebuah kecenderungan menjadikan kebesaran dan keharuman masa lalu sebagai sebuah mitos masa depan bahwa mahasiswa dianggap sebagai penegak tunggal nasib baik bangsa.
“Memuja kekuatan secara berlebihan
Akan melahirkan
sebuah ketakutan Pikiran diatas kenyataan”

Diera sekarang ini sangatlah diperlukan sebuah pengartikulasian akan peran mahasiswa. Artikulasi dalam arti menyambungkan kembali sebuah makna yang terputus oleh zaman dari sebuah peran ideal mahasiswa yang pernah dilakoninya. Sebuah peran yang kehilangan makna pada saat reformasi hendak dikawal. Generasi mahasiswa sejak awal reformasi telah mencitrakan diri sebagai sebagai sebuah gerakan moral dan bukan gerakan politik, meski pada akhirnya keberpihakan sebagian mahasiswa kepada pejabat politik membuat semangat reformasi melemah karena semangatnya mulai tereduksi ketitik politik praktis. Citra mahasiswa sebagai pengawal reformasi mengalami kekaburan, sehingga tidak salah jika dikatakan mahasiswa sebagai pengawal reformasi mengalami kemunduran secara ideologis.

Kebingungan dalam mengusung agenda reformasi atau revolusi membuat mahasiswa terpecah belah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Huntington (1995) “ revolusi lebih mudah melenyapkan lawan politik dibanding kita melakukan reformasi. Karena dengan reformasi kita harus melakukan konfromi politik dengan kekuatan lama yang masih berkuasa”.

Sangat disayangkan menurut Denny JA jika mahasiswa mengalami krisis seperti ini. Reformasi dan demokratisasi adalah proyek yang memakan waktu lama dan sampai saat ini belum selesai. Pengawal reformasi sangat dibutuhkan terutama untuk memberikan tekanan ekstra parlementer . Tanpa pengawal dngan mudah, gerakan reformasi dengan mudah diselewengkan atau di tidak dituntaskan. Karena itu sangat ironis jika gerakan mahasiswa yang selama ini menjadi pengawal reformasi justru menjadi penjegalnya. Sebab status quo juga menjegal reformasi dengan tujuan dan alasan lain, sedangkan gerakan mahasiswa dapat menjegal arus reformasi hanya karena keekstriman dan ketidak tahuan. Karena itulah, sudah saatnya pengawal reformasi ini kembali ke khittahnya .



Faktor-faktor strategis peran mahasiswa sebagi pengawal reformasi sesungguhnya terletak pada 3 variabel utama yaitu moralitas, intelektual, dan aksi ekstra parlemen. Ketiga kekuatan ini merupakan inti dari sebuah usaha perjuangan mahasiswa jika ingin memasukkan agenda –agenda reformasi.
Namun, sebagai catatan akhir saya bahwa jika mahasiswa kembali kekhittah awal akan makna dan tujuan perjuangannya maka perlulah sebuah konsep gerakan yang ideal untuk menopang gerakan serta mengarahkan arah dan tujuan dari pergerakannya.
Pertama, Mahasiswa harus kembali dari orientasi struktural kegerakan Kultural, yakni dimaknai, bahwa untuk menjauhkan Mahasiswa dari tudingan sebagai identitas tempat hura-hura dengan pelaksanaan programnya yang cenderung ceremonial dan populis, dimana tidak memiliki kepekaan, semangat militansi dan jiwa kepeloporan untuk melakukan perubahan terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan dan masa depan bangsa kearah yang lebih baik, sehingga kadang disorot agar mahasiswa diam saja karena tidak mencitrakan lagi kerja-kerja kemahasiswaan yang berkualitas dan tidak menyentuh kepentingan masyarakat dan bangsa.
Kedua Untuk maksud tersebut, maka dalam pelaksanaan sebuah gerakan kedepan dilakukan pergeseran dan indikator kuantitatif kearah yang lebih kualitatif yang mengarah pada gerakan publik education yang mencakup kepentingan rakyat sekaligus mahasiswa secara keseluruhan dalam rangka mempersiapkan lapis aktivis-aktivis baru yang memiliki kualitas intelektual, moralitas dan keterampilan yang berdaya saing serta memiliki wawasan kebangsaan, untuk dapat menghantarkan bangsa Indonesia keluar dari krisis multidimensi dan siap-siap berkompetisi secara global.

Demikianlah, untuk mengartikulasikan peran-peran mahasiswa tak ada pilihan lain kecuali melakukan semacam “tafsir sosial baru” terus menerus terhadap fenomena kontemporer, agar pikiran dan tindakannya relevan dengan gerak evolusioner perubahan zaman. Dengan demikian upaya untuk merubah orientasi, cara-pandang, metode dan gerak juang mahasiswa dengan sendirinya menjadi sebuah kemestian, khususnya dalam “membayangkan” masa depan bangsanya. Dengan kata lain mahasiswa harus menorehkan nuktah-nuktah penting dalam sejarah. Sebab, jika tidak, ia bakal dipermaklumkan sebagai sebuah “Pembawa suara kebenaran yang hilang !”

Makassar 15 Oktober 2005
Disampaikan Pada Pelatiahan Lembaga Kemahasiswaan UIN Alauddin