Minggu, 10 Mei 2009

PARADIGMA KEPEMIMPINAN KAUM MUDA “SEBUAH ANALISIS DALAM RANGKA MEMPERSIAPKAN PEMIMPIN MUDA YANG KUAT DAN LAYAK JUAL DI PENTAS NASIONAL ”

Oleh : Ilham Syah Azikin 
  1. Prolog
Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama tentang kepemimpinan  setidaknya harus melingkupi 3 dimensi : kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.
Jika pemimpinnya  hanya memiliki kebersihan hati tanpa kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinnya bisa gampang stagnan.Begitupun sebaliknya.
          Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti di “menara gading” alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tetapi juga mengganggu kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.
Wacana kepemimpinan kaum muda terus ramai diperbincangkan publik. Hal itu disebabkan kondisi bangsa ini yang semakin hari semakin tak menentu. Problematika kenegaraan sangat kompleks. Wacana ini patut diapresiasi, anak-anak muda negeri ini mulai sadar, bangsa ini perlu pemikiran dan semangat segar.
Historis bangsa ini lahir dan terbentuk dari peran kaum muda dan tuanya. Ini terlihat dari Gerakan Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Java, pada masa pra kemerdekaan, lalu disusul oleh Tan malaka, Moh. Syahril, Soekarno, Moh Hatta dsb. 
Sejarah juga mencacat bahwa kemerdekaan yang selama ini kita nikmati adalah jerih payah kaum muda. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari mendirikan Muhammadiyah dan NU saat usia mereka masih relatif muda dan lainya adalah tokoh muda yang berada dalam garis terdepan kemerdekaan bangsa ini.
Usia mereka tidak lebih dari 40 tahun. Mereka mempunyai semangat juang dalam memerdekaan bangsa dan negara dari penjajah. Ketika mereka di penjara pun, aktivitas kepemudaan seperti menulis dan diskusi menjadi hal yang biasa.
Dari fase sejarah perjuangan bangsa, boleh jadi para pemuda menepuk dada betapa kontribusi itu jelas tergambar secara gamblang. Namun, terlepas dari euforia perjalanan perubahan ada hal mendasar yang menjadi problematika dan belum terpecahkan hingga sekarang. Dari masa ke masa, pemuda lebih berperan sebagai katalis perubahan yang belum memiliki peran cukup signifikan dalam pencapaian tujuan dari perubahan itu sendiri. Seperti halnya pada masa peralihan pemerintahan dari orde lama ke orde baru, terdapat pengharapan besar dari kaum muda akan lahirnya sebuah pemerintahan yang lebih sejahtera dan demokratis.
Terlepas dari berbagai latar belakang lahirnya semangat kepemimpinan muda, hasrat tersebut tentu sangat beralasan baik itu ditinjau dari segi teoritis dan praktis kapasitas kaum muda maupun dari realitas kepemimpinan yang ada. Kepemimpinan yang masih disetir oleh kaum tua dan dianggap belum bisa membawa bangsa keluar dari sarang problem. Keduanya tidak bisa diparsialkan dalam membuat alasan mengapa kepemimpinan muda itu menjadi sesuatu yang dibutuhkan.

1. Kaum Muda Memimpin….?
 Akhir-akhir ini sering kita dengar slogan ‘Saatnya kaum muda memimpin”, atau ‘perlunya kepemimpinan orang muda’ atau ada yang agak ekstrim, ‘kaum muda berkuasa kaum tua tersingkirkan.’ Wacana ini digelindingkan bak bola salju. Mulai dari dikusi, seminar, kajian, penelitian, debat sampai beberapa partai yang akan bertarung dalam kontes pemilu 2009 nanti pun mengusung tema ini.   
Lantas apakah dengan naiknya kaum muda sebagai pemimpin, segala budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang merupakan biang kegagalan Indonesia bisa dihapuskan? Apakah kepemimpinan oleh kaum muda sertamerta menjadi solusi untuk menyelamatkan negara ini? Dari situ kemudian, berkembanglah wacana tentang kepemimpinan baru yang efektif.   Sayang, tema yang menonjol dan mengemuka untuk isu yang mereka bawa adalah dikotomi pemimpin tua dan pemimpin muda usia. Kaum muda terkesan merangsek untuk menggeser para senior. Ingin dimunculkan janji, jika orang muda seperti mereka tampil memimpin, persoalan beres; pemimpin muda adalah resep paling mujarab menyelesaikan persoalan kebangsaan kita yang menggunung. Memang tidak ada yang salah dari gaung suara kelompok muda itu. Wajar kiranya mereka menggugat waktu yang tersia-sia untuk sabar dan menunggu dari elit tua pasca reformasi, yang semakin kehilangan orientasi.
Persepsi yang muncul adalah seolah-olah pergantian kekuasaan adalah seperti bertukar tempat duduk angkutan umum atau antri tiket bioskop. Kaum tua tinggal bergeser ke belakang atau kesamping karena menghalangi langkah atau mengganggu ruang gerak orang muda yang hendak step forward.

2.  Menanti Kerelaan Tua
Indikasi kegagalan kaum tua  menjadi alasan pentingnya kepemimpinan kaum muda. Kepemimpinan kaum muda ditawarkan sebagai solusi dengan asumsi bahwa kaum muda memiliki kompetensi,integritas, kapabilitas, kreativitas, progresivitas, idealisme, dan terutama komitmen moral untuk membangun bangsa.Pertanyaannya adalah semudah itukah kaum muda dapat tampil dan berperan dalam pentas politik Tanah Air? 
Pemimpin tua dan muda merupakan sesuatu yang patut disikapi secara wajar, tidak perlu dipertentangkan apalagi diributkan yang penting adalah bagaimana mensinergiskan keduanya. Intinya adalah pemimpin itu entah muda, entah tua bukanlah sesuatu yang harus menjadi beban dan isu politik. Bahkan, yang utama adalah komitmen moral yang utuh dari pemimpin itu. Bukan komitmen yang sifatnya bombastissloganistis tanpa arah, hanya sekadar mengelabui massa atau masyarakat. Sebab rakyat memilih pemimpin bukan isu atau slogan! Terlepas dari kelemahan isu dan gerakan kaum muda itu, wacana dan isu pemimpin muda ini menunjukan adanya kegelisahan dan kepedulian dari kaum mudam untuk ikut serta dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa.
 B.  Paradigma Kepemimpinan Kaum Muda “Sebuah Analisis”
Menurut M. Masad Masrur (Intelektual dan Kepemimpinan Kaum Muda, 2007), ada tiga karakteristik kepemimpinan dan intelektual kaum muda. Pertama, kaum muda yang mempunyai ide-gagasan, kreatif, kritis, dan mau tampil. Tipe pemuda itu merupakan kaum muda yang paripurna. Kedua, kaum muda yang mempunyai ide-gagasan, kreatif, kritis, tapi tidak mau tampil. Men of behind, yaitu jenis kaum muda dengan kualitas baik. Ketiga, tipe kaum muda yang tidak punya ide-gagasan, tidak kreatif, tidak kritis, dan tidak mau tampil. Jenis kaum muda itu pasif dan cenderung menjadi "benalu" dalam setiap aktivitas yang melingkari kaum muda.
Menurut Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif , bangsa ini sudah di ambang kehancuran dan tuna keadaban yang tidak mengenal lagi nilai-nilai moralitas. Melihat dua fenomena dan potret bangsa tadi, sudah selayaknya bagi kita yang muda untuk mengusung dan memformulasikan kembali aras pemikiran dan menyatakan siap tampil dalam ranah kehidupan bangsa ini. Kegagalan masa lalu kita niatkan untuk tidak akan terulang bagi generasi yang akan datang. Walau untuk membenahi negara dan daerah yang multikrisis ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, namun dengan langkah antisipatif dan mempersiapkan generasi muda yang lebih matang, akan relative membuka jalan bagi kebangkitan bangsa dan daerah ini kedepan. Bukankah kaum muda Indonesia telah menujukkan kiprahnya dalam menentang katidakadilan di negara ini? Maka sebagai kalangan muda, mau tidak mau sekarang kita harus mempersiapkan diri untuk menjadi ikon bangsa dan daerah ini ke depan. 
Beberapa hal yang menjadi agenda kepemimpinan kaum muda, Pertama, Jadilah generasi muda yang cakap ilmu dan kemantapan iman. Jika kedua unsur ini tidak lagi terbentuk dalam jiwa generasi muda sekarang, tentu dampak kehidupan masyarakat kedepan jauh akan lebih parah dari sekarang. Untuk meraih kemajuan banga ini, bukanlah dengan mengangan-angankannya saja, tapi dengan ilmu. Keunggulan ilmu tidak dapat dirasakan apabila tidak dilandasi dengan iman.  Kedua, kedewasaan mental dan kearifan global. Ini bagian dari skill anak muda kita yang juga harus dapat diciptakan melalui budaya bangsa ini. Ini tercermin dari sikap mau berdialog, bersikap pluralistik, dan berlaku toleran sekaligus mampu menjalin kerjasama dengan berbagi pihak.  Ketiga, melihat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, maka bagi kaum muda dituntut untuk memiliki penghayatan keagamaan yang substantive yang tidak mudah terjebak dalam aras formalistik dan simbolik. Karena kejumudan pikiran kian menjauhkan bangsa ini dari kemajuan. Pemahaman agama harus mampu diciptakan ke arah yang lebih toleran, progressive dan terbuka.
Jadikan acuan kedepan untuk mempersiapkan kaum muda yang kuat dan layak jual di pentas nasional dan dunia, karena Islam mengajarkan pada umatnya, “agar setiap manusia harus khawatir jika meninggalkan generasi muda yang lemah mentalnya,” Karena hari esok bukanlah untuk generasi tua hari ini, melainkan buat generasi muda sekarang dan yang akan datang.
Semangat kaum muda adalah semangat perubahan. Regenerasi dan pembeliaan perlu dilakukan. Maksud pembelian disini bukan terpaku pada umur saja, tetapi ia boleh tua asal memiliki progresivitas seperti anak muda. Kategori muda memiliki dua arti, yaitu, dari segi umur dan pemikiran meminjam Istilah Ridho Alhamdi “muda tidak mesti anti tua.
         C. Penutup
Sebagai catatan akhir dalam upaya melahirkan pemimpin muda  berkualitas yakni sebuah permenungan  terhadap filosofi menjadi pemimpin. pemimpin bisa diringkas dalam satu kata saja, yaitu di depan. Menjadi seorang pemimpin berarti memiliki kualifikasi "berada di depan", bukannya "di atas".
Pemimpin "di atas" menggunakan hanya jari telunjukknya untuk menyatakan "kerjakan", sementara pemimpin yang "di depan" menggunakan seluruh jari tangannya untuk menyatakan "mari kita lakukan". Pemimpin "di atas", menggunakan seluruh jari tangannya untuk "memukul", sementara yang "di depan" menggunakan seluruh jari tangannya untuk "mengajak". Pemimpin "di atas" menggunakan tangannya untuk "mematahkan", sementara pemimpin "di depan" menggunakan tangannya untuk "menyatukan". Pemimpin yang "di atas", menggunakan jempolnya untuk memuji sementara keempat jemari lainnya terarah kepadanya, sementara pemimpin yang "di depan" menggunakan kelima jarinya untuk "menarik" dan "mendorong".
Begitulah. Menjadi pemimpin Muda yang "di depan", memang tidak gampang. Yang berada di depan berarti bersiap untuk dinilai oleh yang dibelakang. Tetapi pada saat yang sama, juga harus menjadi pedoman bagi yang di belakang. Di Skotlandia, bebek-bebek (terbang) biasanya hijrah ke Selatan. Mereka terbang melintasi perjalanan bermil-mil jauhnya, dan membentuk formasi untuk memudahkan perjalanan. Untuk itu, mereka menempatkan seekor bebek pemimpin di depan, bukannya di belakang, terlebih bukan di atas.  Pemimpin memang bukan bebek yang hanya bisa membebek. Tetapi bebek bisa menjadi pelajaran. Bahwa pemimpin yang berada di depan memang harus bisa menjadi panutan. Menjadi panutan, yang mampu mengarahkan, memberi pedoman, termasuk mengetahui kondisi yang dibelakang.
  Makassar, 12 Mei 2009